Sudah lama Suhardi mendengar kabar tentang anggaran
kompensasi pencabutan subsidi BBM: Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM). Tetapi Suhardi sering memplesetkan nama program pemerintah itu
menjadi “Balsem”.
Suhardi sendiri seharusnya menjadi salah satu peneriman balsem. Maklum, keluarganya direken oleh BPS sebagai keluarga miskin. Ia dalam posisi sangat dilematis. Di satu sisi, ia sadar bahwa balsem hanya “sogokan” SBY untuk orang miskin. Tetapi di sisi lain, kondisi keluarganya yang terjepit kemiskinan sulit untuk menolak bantuan itu.
Tapi, jangan salah, kendati dikategorikan miskin, Suhardi merasa masih punya martabat. Ia sendiri aktivis sebuah organisasi rakyat miskin. Setiap harinya ia keluar-masuk kampung untuk mengadvokasi orang miskin. “Kalau bukan sesama orang yang saling tolong-menolong, mau mengharapkan bantuan siapa lagi, Bro,” ujarnya.
Suhardi juga sering bekerja serabutan. Semuanya itu demi menyambung hidup keluarganya: seorang istrinya dan dua anaknya. Itupun, katanya, penghasilannya itu belum cukup. “Gara-gara SBY si raja Neolib ini, biaya hidup naik terus. Makin enggak terjangkau sama orang miskin,” katanya.
Sore itu, Senin minggu lalu, saya menyambangi kontrakannya. Di kamar yang ukurannya tak lebih luas dari kontrakanku semasa kuliah dulu, Suhardi dan tiga anggota keluarganya berteduh dari panas dan hujan. Tetapi tinggal di kontrakan pun sebuah perjuangan berat bagi Suhardi. Tak jarang, karena tak punya uang, ia harus tabah dengan omelan pemilik kontarakan yang menagih uang sewa.
Suhardi ingin sekali punya pekerjaan tetap, yang memberinya upah yang layak. Tapi, apa daya, ia hanya tamatan SD. Di Jakarta, Sarjana saja banyak yang menganggur. Karena pengalaman itulah, Suhardi tak mau anaknya bernasib sama seperti dirinya. Dua anaknya pun disekolahkan. Dan kata “pusing” paling sering dihamburkan dari mulutnya tatkala kedua anaknya itu meminta uang pembayaran.
Kondisi itu benar-benar membuat nasib Suhardi terjepit. Kondisi “terjepit” itulah yang membuat banyak orang miskin tak kuasa menolak sogokan balsem. Hal ini mengingatkan kita dengan ucapan seorang sosialis Belgia, Hendrik De Man, yang bilang: sebuah kebun kecil mungil di halaman sebuah buruh adalah lebih berharga dari sorakan sosialisme dan anti-kapitalisme.
Tetapi Djunadi justru berbeda. Manusia yang ‘terdidik’ oleh organisasi ini sadar bahwa balsem hanya sogokan rezim SBY. Ia juga tahu, bahwa balsem didanai dengan utang luar negeri. Dia juga sadar, bahwa balsem tidak akan sanggup mengobati kemiskinan. “Ini hanya obat penghilang nyeri sesaat, Bung. Ya, hanya untuk mengurangi efek nyeri yang dirasakan oleh orang miskin akibat kenaikan harga BBM,” katanya.
“Tetangga-tetangga pada berebut tuh. Mumpung ada yang mau ngasih duit, katanya,” kata Sohima, istri Suhardi. “Lumayan buat nambah-nambah uang belanja dapur,” tambahnya.
“Tetapi itu kan sementara, Bu, cuma empat bulan. Nilainya juga sangat kecil. Itu mah hanya cukup beli cabe rawit merah sekilo,” kata Djunaidi membantah.
“Iya, tapi ibarat yang yang sudah nyaris tenggelam. Air sudah seleher. Ya, memegang ranting kecil pun bakal dilakukan, supaya tetap ada peluang bertahan hidup,” kata Sohima membela pendapatnya.
Aku yang sedari tadi menyaksikan perdebatan suami-istri pun angkat bicara. Kubilang begini: “Diambil nggak apa-apa. Asalkan sogokan itu tidak mengubah pendirian kita. Yakni menolak kenaikan BBM. Anggap saja ini langkah taktis.”
“Betul itu, Mas,” Sohima langsung mendukung pendapatku.
Kulihat dahi Suhardi mengkerut. Baginya, menerima balsem sama dengan berkompromi. Dan, berkompromi dengan musuh adalah sebuah kejahatan politik. Itu sama dengan tidak setia pada prinsip. Oportunisme!.
Tidak tega melihat Suhardi terkurung dalam perdebatan dalam pikirannya, saya pun mengatakan, “sebetulnya, belajar dari pengalaman BLT dulu, di sini juga kita bisa membangun perlawanan.”
“Kok bisa, Bung, bagaimana ceritanya?” tanya Suhardi.
“Ada tiga kelemahan mendasar BLSM. Satu, cakupannya sangat terbatas, yakni cuma 15,5 juta rumah tangga miskin. Padahal jumlah rumah tangga miskin lebih dari itu. Dua, anggarannya terlalu kecil. Tak sebanding dengan penderitaan orang miskin akibat kenaikan harga BBM. Tiga, BLSM ini hanya sementara, yakni 4 bulan. Sementara penderitaan orang miskin akan terus berlanjut,” kataku.
“Tambah satu lagi, Bung,” kata Suhardi bersemangat. “Yaitu: proses pendistribusiannya selalu bermasalah. Banyak disunat oleh petugas dan aparat di tingkat bawah,” ujarnya.
“Nah, kita masuk dari keempat kelemahan itu. Bangunlah posko untuk menampung ketidakpuasan orang miskin atas keempat kelemahan itu. Kita dorong mereka menuntut agar kuota penerima BLSM ditambah, anggarannya dinaikkan, sifatnya dipermanenkan, dan ada kontrol atas pendistribusian BLSM,” kataku lagi.
Kulihat Suhardi belum begitu puas. Kesan saya, ia masih menyimpan banyak pertanyaan di pikirannya. Maka, segera kusampaikan begini ke dia: “Bagaimanapun, orang miskin tetap harus diyakinkan, bahwa BLSM tidak akan bisa menjadi obat atas kemiskinan mereka.”
Saya pun mengutip perkataan Hugo Chavez, Presiden Venezuela yang revolusioner itu, bahwa “bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin.”
Dan, tiba-tiba suara bedug ditabuh menginterupsi diskusi itu. “Wah, sudah waktunya buka puasa, Bung,” kata Suhardi. Dengan sigap ia menyodorkan segelas es buah dan sepiring gorengan ke saya. “Inilah menu terbaik bagi orang miskin, Bung,” kata pria berbadan ceking itu.
Andi Nursal, Alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Suhardi sendiri seharusnya menjadi salah satu peneriman balsem. Maklum, keluarganya direken oleh BPS sebagai keluarga miskin. Ia dalam posisi sangat dilematis. Di satu sisi, ia sadar bahwa balsem hanya “sogokan” SBY untuk orang miskin. Tetapi di sisi lain, kondisi keluarganya yang terjepit kemiskinan sulit untuk menolak bantuan itu.
Tapi, jangan salah, kendati dikategorikan miskin, Suhardi merasa masih punya martabat. Ia sendiri aktivis sebuah organisasi rakyat miskin. Setiap harinya ia keluar-masuk kampung untuk mengadvokasi orang miskin. “Kalau bukan sesama orang yang saling tolong-menolong, mau mengharapkan bantuan siapa lagi, Bro,” ujarnya.
Suhardi juga sering bekerja serabutan. Semuanya itu demi menyambung hidup keluarganya: seorang istrinya dan dua anaknya. Itupun, katanya, penghasilannya itu belum cukup. “Gara-gara SBY si raja Neolib ini, biaya hidup naik terus. Makin enggak terjangkau sama orang miskin,” katanya.
Sore itu, Senin minggu lalu, saya menyambangi kontrakannya. Di kamar yang ukurannya tak lebih luas dari kontrakanku semasa kuliah dulu, Suhardi dan tiga anggota keluarganya berteduh dari panas dan hujan. Tetapi tinggal di kontrakan pun sebuah perjuangan berat bagi Suhardi. Tak jarang, karena tak punya uang, ia harus tabah dengan omelan pemilik kontarakan yang menagih uang sewa.
Suhardi ingin sekali punya pekerjaan tetap, yang memberinya upah yang layak. Tapi, apa daya, ia hanya tamatan SD. Di Jakarta, Sarjana saja banyak yang menganggur. Karena pengalaman itulah, Suhardi tak mau anaknya bernasib sama seperti dirinya. Dua anaknya pun disekolahkan. Dan kata “pusing” paling sering dihamburkan dari mulutnya tatkala kedua anaknya itu meminta uang pembayaran.
Kondisi itu benar-benar membuat nasib Suhardi terjepit. Kondisi “terjepit” itulah yang membuat banyak orang miskin tak kuasa menolak sogokan balsem. Hal ini mengingatkan kita dengan ucapan seorang sosialis Belgia, Hendrik De Man, yang bilang: sebuah kebun kecil mungil di halaman sebuah buruh adalah lebih berharga dari sorakan sosialisme dan anti-kapitalisme.
Tetapi Djunadi justru berbeda. Manusia yang ‘terdidik’ oleh organisasi ini sadar bahwa balsem hanya sogokan rezim SBY. Ia juga tahu, bahwa balsem didanai dengan utang luar negeri. Dia juga sadar, bahwa balsem tidak akan sanggup mengobati kemiskinan. “Ini hanya obat penghilang nyeri sesaat, Bung. Ya, hanya untuk mengurangi efek nyeri yang dirasakan oleh orang miskin akibat kenaikan harga BBM,” katanya.
“Tetangga-tetangga pada berebut tuh. Mumpung ada yang mau ngasih duit, katanya,” kata Sohima, istri Suhardi. “Lumayan buat nambah-nambah uang belanja dapur,” tambahnya.
“Tetapi itu kan sementara, Bu, cuma empat bulan. Nilainya juga sangat kecil. Itu mah hanya cukup beli cabe rawit merah sekilo,” kata Djunaidi membantah.
“Iya, tapi ibarat yang yang sudah nyaris tenggelam. Air sudah seleher. Ya, memegang ranting kecil pun bakal dilakukan, supaya tetap ada peluang bertahan hidup,” kata Sohima membela pendapatnya.
Aku yang sedari tadi menyaksikan perdebatan suami-istri pun angkat bicara. Kubilang begini: “Diambil nggak apa-apa. Asalkan sogokan itu tidak mengubah pendirian kita. Yakni menolak kenaikan BBM. Anggap saja ini langkah taktis.”
“Betul itu, Mas,” Sohima langsung mendukung pendapatku.
Kulihat dahi Suhardi mengkerut. Baginya, menerima balsem sama dengan berkompromi. Dan, berkompromi dengan musuh adalah sebuah kejahatan politik. Itu sama dengan tidak setia pada prinsip. Oportunisme!.
Tidak tega melihat Suhardi terkurung dalam perdebatan dalam pikirannya, saya pun mengatakan, “sebetulnya, belajar dari pengalaman BLT dulu, di sini juga kita bisa membangun perlawanan.”
“Kok bisa, Bung, bagaimana ceritanya?” tanya Suhardi.
“Ada tiga kelemahan mendasar BLSM. Satu, cakupannya sangat terbatas, yakni cuma 15,5 juta rumah tangga miskin. Padahal jumlah rumah tangga miskin lebih dari itu. Dua, anggarannya terlalu kecil. Tak sebanding dengan penderitaan orang miskin akibat kenaikan harga BBM. Tiga, BLSM ini hanya sementara, yakni 4 bulan. Sementara penderitaan orang miskin akan terus berlanjut,” kataku.
“Tambah satu lagi, Bung,” kata Suhardi bersemangat. “Yaitu: proses pendistribusiannya selalu bermasalah. Banyak disunat oleh petugas dan aparat di tingkat bawah,” ujarnya.
“Nah, kita masuk dari keempat kelemahan itu. Bangunlah posko untuk menampung ketidakpuasan orang miskin atas keempat kelemahan itu. Kita dorong mereka menuntut agar kuota penerima BLSM ditambah, anggarannya dinaikkan, sifatnya dipermanenkan, dan ada kontrol atas pendistribusian BLSM,” kataku lagi.
Kulihat Suhardi belum begitu puas. Kesan saya, ia masih menyimpan banyak pertanyaan di pikirannya. Maka, segera kusampaikan begini ke dia: “Bagaimanapun, orang miskin tetap harus diyakinkan, bahwa BLSM tidak akan bisa menjadi obat atas kemiskinan mereka.”
Saya pun mengutip perkataan Hugo Chavez, Presiden Venezuela yang revolusioner itu, bahwa “bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin.”
Dan, tiba-tiba suara bedug ditabuh menginterupsi diskusi itu. “Wah, sudah waktunya buka puasa, Bung,” kata Suhardi. Dengan sigap ia menyodorkan segelas es buah dan sepiring gorengan ke saya. “Inilah menu terbaik bagi orang miskin, Bung,” kata pria berbadan ceking itu.
Andi Nursal, Alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
0 komentar:
Posting Komentar