Akhir-akhir ini SBY makin sering bicara koreksi dan perubahan. Hari Kamis, 18 Juli lalu, SBY berkicau melalui akun twitternya mengenai perlunya koreksi dan perubahan. Hari itu Presiden SBY mengicau, “sistem dan tatanan sempurna adalah ilusi.” Sebaliknya, kata Presiden SBY, yang harus kita insyafi bahwa yang abadi adalah koreksi terus-menerus dan perubahan berkelanjutan.
Sebelumnya, tanggal 16 Juli 2013, saat acara buka puasa bersama dengan pimpinan media massa dan wartawan di Istana Negara, Presiden SBY juga bicara koreksi dan perbaikan terkait 15 tahun perjalanan reformasi. Ironisnya, dalam pidato singkatnya itu, SBY menolak koreksi yang sifatnya radikal dan revolusioner. “Tidak perlu kita menunggu era perubahan yang dramatis, radikal, dan revolusioner seperti itu kalau kita sadar tidak pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna,” kata SBY.
Dengan bergaya bak filsuf post-modernisme, SBY menampik emansipasi radikal menuju masyarakat sempurna. SBY kemudian menempatkan perjalanan bangsa kita dalam sebuah masyarakat penuh teka-teki, tidak ada kepastian, penuh ketidaksempurnaan. Padahal, para pendiri bangsa kita justru mendirikan Republik ini karena mimpi emansipasi radikal, yakni masyarakat adil dan makmur. Artinya, Presiden SBY menolak sendiri cita-cita berbangsa kita, yakni masyarakat adil dan makmur, yang dikumandangkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Pancasila sendiri sangat tegas bercita-cita masyarakat berkeadilan sosial. Kemudian di dalam konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945, terpancar kuat cita-cita menuju sosialisme Indonesia.
Persoalan selanjutnya adalah, ketika SBY menolak cita-cita masyarakat ideal itu, lantas apa patokan kita sebagai sebuah bangsa yang bergerak maju ke masyarakat lebih baik? Karena kategori dan patokan masyarakat idealnya kabur, jelas koreksi yang dilakukan pun menjadi tidak jelas. Dengan demikian, koreksi terus-menerus–seperti dikumandangkan oleh Presiden SBY–akan menjadi absurd apabila tidak dipandu oleh cita-cita atau idealisasi masa depan. Ini ibarat berlayar di tengah lautan bebas tanpa tujuan.
Yang bermasalah juga adalah jenis koreksinya. SBY menganjurkan koreksi terus-menerus, tetapi menolak koreksi yang sifatnya radikal atau revolusioner. Padahal, perubahan atau lompatan-lompatan besar dalam sejarah umat manusia adalah selalu merupakan hasil dari perubahan radikal alias revolusi. Masyarakat kapitalistik saja merupakan hasil revolusi besar, seperti Revolusi Perancis (1789), yang menumbangkan tatanan masyarakat feodal. Tak hanya itu, lahirnya Republik Indonesia yang merdeka pun hasil dari sebuah revolusi, yakni Revolusi Nasional, yang menumbangkan kekuasaan kolonial.
SBY menolak koreksi yang sifatnya revolusioner. Pertanyaannya: bisakah bangsa ini melakukan emansipasi, baik di lapangan ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, tanpa melakukan pemutusan atau penjungkirbalikan terhadap tatanan lama: kolonialisme dan feodalisme. Padahal, tatanan lama tersebut selalu merintangi langkah bangsa ini menuju ke masa depan.
Kita ambil contoh di bidang ekonomi. Kalau sistem ekonomi kita masih dikangkangi kapital kolonialistik, yang menyebabkan sebagian besar sumber daya dan kekayaan alam kita mengalir keluar, bisakah kita bergerak maju membangun ekonomi nasional dan memakmurkan seluruh rakyat. Ini pertanyaan urgen yang mestinya dijawab oleh Presiden SBY.
Nah, kalau SBY menolak perubahan radikal, juga ogah dituntun oleh cita-cita emansipasi radikal, lantas koreksi macam apa yang dikehendaki SBY? Di sini sebetulnya SBY sengaja menciptakan ambiguitas. Di satu sisi, SBY melakonkan dirinya sebagai pendukung perubahan. Tetapi disisi lain juga, dengan menolak perubahan radikal, SBY memposisikan dirinya sebagai sang “perawat” status quo. Kalau mau disederhanakan, SBY ini menghendaki koreksi, tetapi koreksi itu tidak boleh menolak atau mengoreksi sistem. Pendek kata, SBY mau bilang, sistem ekonomi-politik sekarang sudah sangat bagus, tinggal dipersolek dengan perubahan-perubahan kecil. Jadi, sebetulnya yang ditolak SBY adalah kritik fundamental, yakni kritik ekonomi-politik kapitalisme.
Inilah yang janggal dari kicauan SBY. Di satu sisi, ia selalu berseru-seru pentingnya koreksi, tetapi disisi lain pula, ia menolak koreksi mendasar: koreksi ekonomi-politik. Padahal, perdebatan kebangsaan yang bergulir akhir-akhir ini sudah sampai pada kesimpulan: persoalan mendasar bangsa kita berakar pada sistem ekonomi-politik. Sebagian besar saran pun sudah mengarah pada tawaran koreksi sistem ekonomi-politik. Yang harus dikoreksi adalah model pembangunan ekonomi yang makin kapitalistik, yang meletakkan logika kapital, yakni menumpuk keuntungan, di atas pembangunan manusia. Yang seharusnya dikoreksi adalah ketergantungan kita terhadap kapital asing, yang menyebabkan seluruh sektor perekonomian dan setiap jengkal kekayaan alam kita dicaplok dan dikangkangi perusahaan asing. Yang harus dikoreksi adalah sistem ekonomi-politik yang telah menyebabkan Indonesia sebagai sebuah negeri agraria menjadi negeri pengimpor pangan. Dan, tentu saja, koreksi sistem ekonomi-politik itu membutuhkan Revolusi!
0 komentar:
Posting Komentar